POJOKNEGERI.COM, SAMARINDA - Program kuliah gratis “Gratispol” dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mendapat dukungan DPRD, namun anggota dewan menyoroti belum jelasnya mekanisme pelaksanaan dan ketiadaan payung hukum yang kuat.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Nurhadi Saputra, menyatakan dukungannya terhadap program pendidikan gratis Gratispol, namun mengingatkan bahwa program ini masih menyisakan banyak pertanyaan teknis di lapangan.
Ia menilai pemerintah perlu segera memberikan kepastian soal pelaksanaan dan memperkuatnya lewat regulasi yang jelas.
“Euforianya memang tinggi, tapi teknisnya masih kabur. Masyarakat bingung, kami di DPRD pun belum tahu siapa saja penerima manfaat dan seperti apa kriteria penyalurannya,” ujar Nurhadi.
Ia menyoroti bahwa komunikasi antara eksekutif dan legislatif sejauh ini belum optimal.
Bahkan, keterlibatan DPRD dalam tim transisi program juga minim.
“Kami bahkan tidak tahu siapa anggota tim teknis yang menyusun program ini,” tambahnya.
Nurhadi juga meminta agar pemerintah provinsi menjelaskan secara terbuka apakah program Gratispol ditujukan untuk semua mahasiswa atau hanya kalangan tertentu.
Ia menegaskan pentingnya membedakan antara beasiswa yang bersyarat dan kuliah gratis yang universal.
“Kalau beasiswa, pasti ada seleksi. Tapi kalau dikatakan gratis untuk semua, maka itu harus jelas berlaku bagi seluruh warga Kaltim tanpa syarat. Sekarang ini belum ada kejelasan,” katanya.
Kebingungan juga muncul terkait cakupan penerima manfaat.
Nurhadi mempertanyakan apakah hanya mahasiswa baru yang akan menerima fasilitas ini, atau juga mahasiswa aktif di semester lanjutan.
“Ini belum dijelaskan. Mahasiswa semester dua, lima, atau delapan belum tahu apakah mereka termasuk dalam program,” jelasnya.
Sebagai solusi, Sekretaris Fraksi Demokrat-PPP ini menyarankan agar Pemprov segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) khusus tentang Gratispol agar program tersebut tidak sekadar bergantung pada kebijakan kepala daerah.
“Kalau tidak ada perda, program ini bisa saja hilang saat pergantian kepemimpinan. Ini menyangkut nasib generasi muda, jadi butuh kepastian hukum yang kuat,” tutup Nurhadi. (adv)