IMG-LOGO
Home Ekonomi Soroti Pemangkasan DBH, Akademisi Nilai Berpotensi Lemahkan Kemandirian Fiskal Daerah
ekonomi | umum

Soroti Pemangkasan DBH, Akademisi Nilai Berpotensi Lemahkan Kemandirian Fiskal Daerah

Hasa - 10 Oktober 2025 20:11 WITA
IMG
Purwadi, akademisi dan pengamat ekonom dari Universitas Mulawarman Samarinda. (IST)

POJOKNEGERI.COM - Isu pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk tahun anggaran 2026 mengemuka dalam pertemuan antara Menteri Keuangan dan sejumlah kepala daerah dari 18 provinsi di Jakarta, Selasa (7/10/2025).

Kalimantan Timur (Kaltim) turut menghadapi dampak pemangkasan DBH dari kisaran Rp 6 hingga Rp 7 triliun, turun menjadi sekitar Rp1,6 triliun.

Bagi Kaltim, yang selama ini menjadi daerah penghasil sumber daya alam strategis, kabar tersebut memicu keprihatinan mendalam. 

Meski demikian, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud memilih untuk tetap optimistis. Ia menegaskan bahwa komunikasi dengan pemerintah pusat masih terbuka, dan ruang negosiasi akan terus dijaga untuk memperjuangkan kepentingan fiskal daerah.

“Masih ada kesempatan melalui mekanisme APBN Perubahan tahun depan. Kita akan terus berkoordinasi,” ujar Rudy usai menghadiri pertemuan tersebut.

Namun, di kalangan akademisi dan pengamat ekonomi daerah, keputusan pemangkasan ini justru dinilai mencerminkan kecenderungan pemerintah pusat yang kian terlalu sentralistik dalam pengelolaan keuangan negara.

Menurut Purwadi Purwoharsojo, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, langkah drastis pemerintah pusat berpotensi melemahkan kemandirian fiskal daerah, terutama bagi provinsi penghasil seperti Kaltim.

“Kalau realisasinya benar hanya Rp1,6 triliun, hampir seluruhnya akan tersedot untuk program pendidikan gratis saja. Sektor lain bisa terhenti,” ungkap Purwadi, Jumat (10/10/2025).

Ia menilai kebijakan tersebut tidak hanya menekan fiskal daerah, tetapi juga berpotensi menghambat kontribusi ekonomi Kaltim terhadap nasional.

“Kalau daerah penghasil melemah, maka efek domino ke pusat juga tak terhindarkan. Ini bukan lagi soal efisiensi, tapi tentang keadilan fiskal,” tegasnya.

Purwadi turut menyoroti pola komunikasi pemerintah pusat yang dinilainya kurang transparan. Ia menilai, tudingan adanya penyimpangan dana transfer tanpa bukti kuat hanya memperburuk kepercayaan publik.

“Kalau memang ada penyalahgunaan, buka datanya. Jangan sekadar membuat stigma,” katanya.

Menurutnya, dampak pemangkasan DBH ini akan langsung dirasakan kabupaten/kota di Kaltim. Ia mencontohkan, daerah dengan kapasitas fiskal kecil seperti Mahakam Ulu kemungkinan hanya akan menerima alokasi sekitar Rp200 miliar.

“Jumlah itu bahkan baru cukup untuk membangun infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan,” ujarnya.

Lebih jauh, Purwadi menilai pemerintah pusat terlalu berorientasi pada proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), sementara daerah penghasil sumber daya justru menanggung beban sosial dan ekologis tanpa dukungan anggaran yang sepadan.

“Dari rusaknya hutan, banjir, sampai tambang ilegal, semua ditanggung daerah. Tapi dana pusat justru mengalir ke megaproyek,” sindirnya.

Ia juga menyinggung soal ketimpangan antara efisiensi yang dituntut daerah dan kenaikan tunjangan kinerja di kementerian.

“Kalau bicara penghematan, mestinya dimulai dari atas. Tukin di pusat naik berkali lipat, sementara banyak tenaga pengajar dan ASN di daerah belum menerima haknya,” kritiknya.

Purwadi menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh atas kebijakan fiskal nasional agar prinsip pemerataan dan keadilan benar-benar terwujud.

“Negara ini harus dikelola dengan keseimbangan. Jika pusat terus boros dan daerah terus ditekan, maka yang hancur bukan hanya fiskal, tapi juga kepercayaan publik,” tutupnya tegas.

(tim redaksi)