POJOKNEGERI.COM - Kebijakan tarif impor yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi sorotan dunia saat ini.
Perdana Menteri Singapura, Lawrence Won menilai kebijakan tersebut dapat memicu krisis ekonomi dunia.
Menurut Won, kini era aturan berbasis globalisasi dan perdagangan bebas telah berakhir.
Saat ini, dunia memasuki fase baru yang lebih proteksionis, arbitrer, dan berbahaya bagi negara kecil dengan ekonomi terbuka seperti Singapura yang sangat rentan terdampak.
"AS telah menempatkan Singapura di tingkat dasar terendah dengan tarif sebesar 10%. Jadi dampak langsungnya terhadap kita mungkin terbatas untuk saat ini, tetapi ada konsekuensi yang lebih luas dan lebih mendalam (di masa mendatang)," kata Won, dikutip dari unggahan pada Youtube pribadinya, Sabtu (5/4/2025).
Won memperingatkan, apabila negara-negara lainnya mengadopsi pendekatan yang sama seperti AS, meninggalkan sistem World Trade Organization (WTO) dan berdagang hanya dengan ketentuan yang mereka senangi, akan timbul masalah bagi semua negara, terutama negara-negara kecil seperti Singapura.
"Kita berisiko terdesak, terpinggirkan, dan tertinggal," ujarnya.
Lebih lanjut Won menyampaikan, Singapura telah memutuskan untuk tidak mengenakan tarif balasan. Meski begitu, belum tentu negara lain berpikir hal yang sama. Ia memperingatkan, ke depan ada risiko terjadinya perang dagang global besar-besaran.
"Kemungkinan terjadinya perang dagang global yang besar-besaran semakin meningkat. Dampak tarif yang lebih tinggi, ditambah ketidakpastian tentang apa yang akan dilakukan negara lain selanjutnya, akan sangat membebani ekonomi global," kata dia.
Selain itu, kebijakan baru Trump juga diproyeksikan akan membebani perdagangan dan investasi internasional. Begitu juga dengan pertumbuhan global, diperkirakan akan mengalami perlambatan karenanya.
"Singapura akan menerima pukulan yang lebih besar daripada negara lain karena ketergantungan kita yang besar pada perdagangan. Terakhir kali dunia mengalami hal seperti ini adalah pada tahun 1930-an. Perang dagang meningkat menjadi konflik bersenjata dan akhirnya menjadi Perang Dunia Kedua," ujar Won.
(*)