IMG-LOGO
Home Nasional Evakuasi Juliana Marins di Rinjani: Kronologi, Kendala, dan Penyesalan yang Tersisa
nasional | umum

Evakuasi Juliana Marins di Rinjani: Kronologi, Kendala, dan Penyesalan yang Tersisa

Mikhail - 01 Juli 2025 09:28 WITA
IMG
Proses evakuasi pendaki asal Brasil yang jatuh di Gunung Rinjani oleh Tim SAR Gabungan. (HO/Humas SAR Mataram)

POJOKNEGERI.COM - Kematian tragis pendaki asal Brasil, Juliana Marins (27), di Gunung Rinjani menyisakan duka dan kritik terhadap kesiapsiagaan sistem penyelamatan.

Abdul Haris Agam atau Agam Rinjani, relawan sekaligus pemandu gunung yang tergabung dalam Rinjani Squad, mengungkap secara detail proses evakuasi yang penuh tantangan.

Juliana Marins terjatuh pada Sabtu (21/6/2025) sekitar pukul 06.30 WITA saat mendaki bersama lima pendaki lainnya melalui jalur Sembalun.

Ketika rombongan melanjutkan perjalanan menuju puncak, Juliana memilih beristirahat.

Namun saat pemandu kembali untuk menjemputnya, ia sudah tidak berada di tempat.

Cahaya senter di dasar tebing ke arah danau menjadi satu-satunya petunjuk keberadaannya.

Agam, yang saat kejadian berada di Jakarta, langsung berkoordinasi dengan tim SAR dari jarak jauh untuk membantu perencanaan evakuasi.

"Saya langsung menyusun strategi evakuasi dari Jakarta, meskipun belum berada di lokasi," katanya dalam siaran Consina TV, Sabtu (28/6).

Tim SAR mulai bergerak pukul 09.50 WITA, namun pencarian hari pertama tak membuahkan hasil karena kabut tebal dan medan ekstrem.

Lokasi jatuhnya korban berada di lereng pasir curam, dengan potensi batu jatuh sewaktu-waktu.

Hal ini membatasi gerak tim pencari, bahkan dengan bantuan drone dan UAV sekalipun.

“Titik jatuh sangat curam dan berkabut. Kita tidak bisa sembarangan turun,” jelas Agam.

Pada Senin (23/6), Juliana ditemukan dalam kondisi tak bergerak di kedalaman sekitar 590 meter.

Namun proses evakuasi baru bisa dilakukan Selasa malam (24/6), saat satu anggota Basarnas berhasil menjangkau korban dan memastikan ia telah meninggal dunia.

Agam menyayangkan minimnya peralatan evakuasi di lokasi, terutama tali.

Ia menilai, jika tali sudah tersedia sejak hari pertama, kemungkinan Juliana masih bisa diselamatkan.

“Kalau talinya ada, mungkin nyawanya masih bisa tertolong,” sesalnya.

Selain itu, ia menyebut tidak ada inisiatif mengirim logistik ringan seperti air, selimut, atau sleeping bag ke titik jatuh untuk memperpanjang peluang hidup korban.

"Minimal kirim air, sleeping bag, atau HT untuk komunikasi. Itu bisa bantu dia bertahan secara fisik dan mental," ujar Agam.

Ia juga menyoroti tidak adanya sistem evakuasi darurat di Rinjani yang terintegrasi, seperti keberadaan shelter dengan peralatan rescue, hingga penggunaan helikopter yang dianggap lebih efisien.

“Rescue itu soal kecepatan. Heli itu alat paling cepat dan efektif, tapi semua tergantung kebijakan pemerintah,” tegasnya.

Meski tidak berada di lapangan saat hari pertama, Agam mengaku sangat terpukul dan merasa bersalah atas kematian Juliana.

“Saya masih merasa sangat bersalah. Kalau saya di sana, mungkin bisa menyelamatkan dia,” ucapnya haru.

Ia mengatakan, jika dirinya berada di lokasi, ia akan langsung membawa makanan, selimut, dan turun sendiri ke lokasi jatuh untuk mendampingi Juliana.

“Kalau enggak ada tim rescue, saya turunkan saja anak Mapala atau siapa pun untuk bantu. Minimal dia tidak sendirian di bawah,” lanjutnya.

Hasil autopsi RS Bhayangkara Bali Mandara menyebutkan Juliana meninggal akibat luka benturan keras, dan diperkirakan meninggal sekitar 20 menit setelah jatuh.

Agam juga meluruskan informasi keliru yang menyebut lokasi jatuh Juliana sama dengan korban sebelumnya asal Irlandia.

“Beda lokasinya. Juliana lebih di bawah. Saya yang evakuasi korban Irlandia sebelumnya, jadi saya tahu persis,” tegasnya.

Insiden ini menjadi pengingat bahwa penyelamatan di kawasan wisata alam ekstrem seperti Rinjani tidak cukup hanya mengandalkan niat baik relawan.

Butuh sistem, peralatan, dan komitmen kelembagaan untuk menjamin keselamatan pendaki.

“Semoga ini jadi pelajaran besar bagi semua. Jangan sampai ada Juliana-Juliana lain yang tidak tertolong hanya karena kita terlambat bertindak,” tutup Agam. (*)