POJOKNEGERI.COM - Sekretariat Nasional Forum Strategis Pembangunan Sosial (FORES) menggelar diskusi Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi.
Pegiat Sosial dan Politik Indonesia, Sonny Majid menjadi salah satu pembicara menyoroti sejumlah poin pelaksanaan Pemilu dinyatakan demokratis.
Dalam catatannya, Sonny Majid menyoroti Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi.
Berikut catatan lengkap Sonny Majid:
Pemisahan Pemilu nasional dan lokal, akankah memutus “politik pesugihan”?
Setidaknya ada beberapa poin pelaksanaan Pemilu dinyatakan demokratis yang selalu dikemukakan banyak pihak. Di antaranya: kepastian hukum, penyelenggara yang independen dan profesional, data pemilih yang lengkap dan valid, menjaga keotentikan suara rakyat, peserta pemilu yang taat regulasi, partisipasi masyarakat dan penegakan hukum.
Belum lama ini Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan keputusan pemisahan pemilu nasional dan lokal. Di dalam keputusan itu, rentang waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal dilaksanakan maksimal dua tahun.
Apapun keputusan tersebut, tetap yang terpenting adalah bagaimana membangun integritas pemilu, dimana dalam hal ini adalah hukum pemilunya. Hukum pemilu yang adil dan berintegritas. Sebab, dampak dari putusan MK tersebut akan mengubah seluruh Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan kepemiluan beserta turunannya.
Penekanan saya pribadi sih…tetap pada bagaimana memastikan kontestasi berjalan fair dan adil. Kemudian menjamin hak dasar warga negara atas perlindungan dan pemulihan, akibat adanya kesewenang-wenangan atau tindakan kekuasaan yang cenderung justru melawan hukum.
Jika memang harus dilakukan pemisahan pemilu, maka rentang waktunya sebaiknya masih di kisaran satu tahun, dengan alasan mempertimbangkan timeline pembahasan APBN. Tidak melulu pos anggaran APBN kita habis hanya untuk pemilu, di saat ekonomi negara kita sedang genting-gentingnya.
Banyak kalangan melihat, pemisahan ini didasarkan pada ketidakmaksimalan teknis tahapan pemilu dan tingkat kejenuhan pemilih. Terlepas plus minus keputusan MK itu, namun perlu juga mempertimbangkan agar cara/proses pemungutan suara dibuat lebih simpel.
Apakah kita pernah memasukan indikator kerumitan saat pemungutan suara juga menyebabkan pemilih jenuh, akibat tidak efisiennya proses pemungutan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Belum lagi “njelimetnya” hal teknis juga menyulitkan penyelenggara pemilu melakukan sosialisasi kepada pemilih, terlebih meningkatkan partisipasi.
Mungkin bisa dipertimbangkan kembali, agar proses pemungutan suara dibuat simpel, sebaiknya pemilihan calon anggota legislatif (caleg) dilakukan dengan proporsional tertutup (hanya mencoblos lambang partai peserta pemilu).
Hal ini bukan tanpa alasan, paling tidak pemilih memberikan kembali kepercayaan kepada partai politik untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, baik itu anggota parlemen maupun kepala daerah. Karena jika kita mengacu amandemen UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat sebenarnya telah diserahkan kepada partai politik untuk menjalankan amanah tersebut.
Selain proporsional tertutup untuk memilih caleg, ke depan sebaiknya peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diperkuat dalam hal penindakan hukum pidana kepemiluan. Keberadaan Gakkumdu kurang efektif, lantaran residu pemilu 2024 lalu meninggalkan residu tentang “parcok.”
Tentang ini akhirnya MK kembali menerbitkan keputusan 104/PUU-XXIII/2025, dimana MK menyatakan Bawaslu memiliki kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan Pilkada. Rekomendasi Bawaslu selama ini dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK dalam amar putusannya, hasil pengawasan Bawaslu dalam perkara administrasi pilkada kini menjadi putusan yang bersifat final dan mengikat, tidak lagi sebatas masukan, saran, rekomendasi.
Oleh karena itu menjadi penting pasca-putusan MK pemisahan pemilu nasional dan lokal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendesain tahapan pemilu secara ideal, paling tidak tahapan yang disusun KPU tidak saling beririsan. Kemudian dengan keputusan MK mengenai peran Bawaslu, semakin menguatkan begitu pentingnya perangkat penyelenggara pemilu statusnya non adhoc.
Wacana pemilu langsung dari judul “civil society”
Awalnya semangat pemilu langsung dimaksudkan untuk menguatkan sipil dalam kontes demokrasi. Namun dalam perjalanannya, yang terjadi adalah perubahan ideologi pemilu itu sendiri.
Kita sedari awal menganut permusyawaratan/perwakilan sebagaimana sila ke-empat (4) Pancasila, bukan “one man one vote,” yang pada akhirnya menyebabkan biaya politik tinggi akibat kegiatan “pembelian suara.”
Ikatan pemilih dengan para calon pemimpin bukan atas dasar kepentingan gagasan atau ideologis, tapi lebih pada ikatan uang “wani piro” – ibarat “politik pesugihan.”
Mekanisme voting (one man one vote) juga kerapmemicu terjadinya konflik sosial. Wajar rasanya jika saat ini parlemen kita didominasi kalangan pengusaha yang membuka lebar ruang terbentuknya oligarki.
Pada akhirnya poin refleksi kita adalah:
Bagaimana merangkai konektivitas elite dan warga negara sebagai pemilih.
Jadi sebenarnya apa sih identitas politik kita.
Demokrasi yang selama ini digaungkan pada akhirnya dirusak sendiri oleh politik transaksional (uang)- politik wani piro alias “politik pesugihan” yang melahirkan politik oligarki.
Apakah, sistem demokrasi ala Barat, masih relevan diterapkan di Indonesia?
(Makassar).
Catatan diskusi “Arah Baru Demokrasi: Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi” FORES.
(*)