POJOKNEGERI.COM – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mengambil langkah antisipasi dalam menghadapi bayang-bayang pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) tahun anggaran 2026
Bagaimana tidak, isu yang beredar bukan sekadar pengurangan kecil, melainkan potensi pemotongan hingga setengah dari jumlah normal yang diterima daerah.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar tentang keberpihakan pemerintah pusat terhadap daerah penghasil sumber daya alam.
Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji mengatakan pemerintah Provinsi sudah menempuh jalur resmi untuk meminta audiensi dengan Menteri Keuangan.
Agenda ini dinilai mendesak sebelum kebijakan pemangkasan difinalisasi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Kami tidak bisa tinggal diam. Kaltim memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto nasional. Karena itu, wajar jika kami meminta agar kebijakan ini dikaji ulang. Jika pemotongan terlalu dalam, dampaknya bukan hanya untuk Kaltim, tetapi juga terhadap stabilitas ekonomi nasional,” tegas Seno, Selasa (30/9/2025).
Dari informasi awal yang diperoleh Pemprov, lebih dari separuh DBH 2026 terancam hilang. Padahal, dalam dokumen KUA-PPAS 2026 yang baru disepakati bersama DPRD, dana transfer dipatok Rp9,33 triliun. Anggaran itu meliputi DBH, DAU, DAK, hingga DID—yang menjadi penopang utama pembiayaan pembangunan daerah.
Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltim, Ismiati, menambahkan bahwa daerah harus bersiap menghadapi skenario terburuk. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kini menjadi salah satu opsi yang dipacu. Hingga triwulan ketiga 2025, realisasi PAD telah menembus 60 persen dari target, namun tantangan tetap besar jika DBH benar-benar terpangkas drastis.
“Kami terus mengupayakan agar DBH bisa cair penuh tahun ini. Namun ke depan, kita tidak bisa bergantung sepenuhnya pada pusat. PAD harus ditingkatkan untuk menjaga ketahanan fiskal daerah,” ujar Ismiati.
Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu menunjukkan hingga 29 September 2025, dari pagu DBH Rp6,9 triliun, Kaltim baru menerima Rp3,9 triliun. Angka ini memperlihatkan betapa transfer pusat masih menjadi faktor penentu keberlangsungan program daerah.
Dengan kondisi ini, posisi Kaltim dalam negosiasi ke pusat bukan hanya soal angka, tetapi soal keadilan fiskal. Sebagai penyumbang besar dari sektor migas, batu bara, dan perkebunan, Kaltim menilai pemangkasan DBH tidak sebanding dengan peran yang dimainkan daerah di panggung ekonomi nasional.
“Kalau kontribusi besar daerah tidak dihargai dengan porsi yang adil, bagaimana pembangunan bisa berjalan seimbang? Ini yang akan kami sampaikan dalam lobi ke Kemenkeu,” pungkas Seno.
(tim redaksi)