POJOKNEGERI.COM - Insiden peretasan yang menimpa situs Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB).
Peretasan tersebut terjadi tak lama setelah sejumlah dosen, termasuk Ketua PERSADA Dr. Fachrizal Afandi, menyampaikan kritik terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Insiden peretasan ini mendapat kecaman dari Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA).
KIKA menilai insiden ini bukan semata serangan siber biasa, melainkan bentuk represi digital yang berpotensi membungkam suara-suara kritis di ranah akademik.
Hal ini menjadi ancaman serius terhadap kebebasan akademik yang merupakan pilar utama Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu kebebasan berpikir, berpendapat, dan berkarya dalam konteks ilmiah.
“Peretasan terhadap situs PERSADA UB jelas mencederai prinsip kebebasan akademik dan mengirimkan pesan ancaman yang menakutkan, tidak hanya bagi civitas akademika UB, tetapi juga bagi seluruh akademisi, peneliti, dan mahasiswa di Indonesia,” ujar perwakilan KIKA.
Ia menambahkan bahwa tindakan ini berpotensi menimbulkan efek dingin (chilling effect), sehingga para cendekiawan menjadi enggan mengemukakan pendapat kritis mereka karena takut akan serangan balasan di ruang digital.
Menurut KIKA, kritik terhadap kebijakan publik, termasuk RUU KUHAP, merupakan bagian integral dari peran perguruan tinggi sebagai penjaga nalar kritis bangsa. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral memberikan masukan konstruktif untuk menciptakan legislasi yang lebih berpihak pada keadilan, hak asasi manusia, dan prinsip negara hukum. Upaya pembungkaman melalui peretasan atau metode digital lainnya dianggap sebagai tindakan yang merusak demokrasi serta merendahkan posisi akademisi sebagai intelektual publik.
Dalam konteks hukum, kebebasan akademik dijamin oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyatakan bahwa sivitas akademika memiliki kebebasan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain itu, hak kebebasan berekspresi dan berkumpul di dunia pendidikan tinggi juga diatur dalam Kovenan SIPOL (ICCPR) dan Kovenan EKOSOB (ICESCR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Serangan terhadap situs Persada UB merupakan pelanggaran hak asasi manusia di ruang digital, dan hal ini harus mendapat perhatian serius dari seluruh pihak terkait,” tegas KIKA.
Lebih lanjut, KIKA menegaskan bahwa pelaku peretasan seharusnya memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang tercantum dalam Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) 2017, yang telah diadopsi oleh Komnas HAM dalam Standar Norma dan Pengaturan Kebebasan Akademik No. 5 Tahun 2021. Dalam standar tersebut ditegaskan bahwa insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan, dan otoritas publik wajib melindungi kebebasan akademik tersebut.
Sebagai respons atas peristiwa ini, KIKA menyerukan:
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) agar mengusut tuntas kasus peretasan situs Pusat Riset UB secara transparan dan profesional untuk mengungkap pelaku dan motifnya.
Pemerintah dan DPR RI wajib memberikan jaminan perlindungan kepada para akademisi yang menggunakan hak kebebasannya untuk mengkritik kebijakan publik. Aparat penegak hukum harus memastikan ruang digital di Indonesia tidak menjadi sarana represi dan intimidasi, khususnya terhadap para akademisi yang kritis terhadap kekuasaan.
KIKA akan terus mengawal kasus ini dan berdiri bersama akademisi serta masyarakat sipil melawan segala bentuk ancaman terhadap kebebasan akademik.
KIKA mengingatkan bahwa perjuangan menjaga kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik di era digital masih jauh dari selesai dan membutuhkan perhatian bersama demi keberlangsungan demokrasi dan kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia.
(tim redaksi)