IMG-LOGO
Home Umum Wakil CSO Soroti Minimnya Inklusi Sosial di Sektor Ekstraktif
umum | umum

Wakil CSO Soroti Minimnya Inklusi Sosial di Sektor Ekstraktif

Hasa - 29 September 2025 19:05 WITA
IMG
Wakil CSO EITI, Yusnita Ike Christanti saat menghadiri diskusi Right to Know Day atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia

POJOKNEGERI.COM – Rendahnya tingkat inklusi sosial dalam sektor ekstraktif, khususnya bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, dan masyarakat adat menjadi sorotan.

Sorotan ini datang dari Wakil Chief Stakeholder Officer (CSO) Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia, Yusnita Ike Christanti

Hal ini disampaikan Yustina dalam keterangan yang berkaitan dengan Momentum Right to Know Day atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia, Jumat (26/9/2025) kemarin.

Pada pembahasan lanjutannya, Yustina memapar perihal implementasi standar EITI di Indonesia. Yusnita menegaskan bahwa prinsip dasar EITI adalah keterbukaan informasi yang merata sebagai bagian dari public goodatau barang publik. Oleh karena itu, setiap warga negara tanpa terkecuali memiliki hak untuk mengetahui dan mengakses informasi terkait pengelolaan kekayaan alam.

“Yang namanya public good berarti milik warga, milik semua. Apapun karakter warganya. Termasuk teman-teman penyandang disabilitas itu punya hak atas kekayaan negara,” ujar Yusnita, Senin (29/9/2025).

Namun, menurutnya, akses terhadap informasi publik tersebut belum sepenuhnya inklusif. Standar EITI, khususnya pada requirement 7.1, menekankan pentingnya diseminasi dan keterjangkauan informasi publik. Dalam praktiknya, ketersediaan informasi secara daring belum tentu menjamin keteraksesannya oleh kelompok disabilitas.

“Bagi teman-teman yang tunarungu, apakah mereka bisa membaca datanya? Bagi yang tunanetra, apakah mereka bisa membaca tabel dan angka-angka? Ini menjadi tantangan,” katanya.

Selain isu disabilitas, Yusnita juga menyoroti adanya ketimpangan gender dalam sektor energi dan ekstraktif. Ia menyebutkan bahwa sektor ini selama ini dianggap sebagai ruang yang maskulin dan didominasi oleh laki-laki, sehingga partisipasi perempuan menjadi sangat terbatas.

“Para feminis menyebut sektor energi dan ekstraktif sangat maskulin karena berada di ruang publik. Sementara perempuan lebih banyak berada di ruang domestik, sehingga isu-isu sektor ini dianggap bukan isu perempuan,” jelasnya.

Keterbatasan akses informasi dan rendahnya keterlibatan perempuan menyebabkan mereka tidak memiliki ruang dalam proses negosiasi maupun pengambilan keputusan. Padahal, dampak dari aktivitas ekstraktif sangat dirasakan oleh perempuan dan rumah tangga.

Ia mengutip sejumlah temuan yang menunjukkan bahwa kehadiran perusahaan tambang dapat mengubah struktur kehidupan rumah tangga secara signifikan. Di beberapa kasus, peningkatan pendapatan yang diperoleh pekerja laki-laki justru memicu konflik keluarga, termasuk penelantaran istri dan anak.

Selain itu, di wilayah sekitar tambang, kerap muncul sektor-sektor informal yang juga melibatkan perempuan, seperti tempat hiburan malam dan praktik prostitusi, yang disertai dengan meningkatnya risiko kekerasan seksual, penyebaran penyakit menular, konsumsi minuman keras, dan narkoba.

Keterbatasan lain yang disoroti adalah sulitnya masyarakat adat dalam memahami data dan regulasi negara yang kerap tidak sejalan dengan aturan adat. Akibatnya, masyarakat adat sering kali mengalami kesulitan saat berhadapan dengan konsesi perusahaan yang masuk ke wilayah adat.

“Bagaimana data bisa dibaca oleh masyarakat adat lalu dipertemukan dengan regulasi negara maupun aturan adat? Seringkali tidak ketemu,” ujar Yusnita.

Masalah transparansi juga tercermin dari masih rendahnya tingkat pelaporan perusahaan sektor mineral dan batubara (minerba), khususnya di Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan data EITI Indonesia, sebagian besar perusahaan di wilayah tersebut tidak menyampaikan laporan kepada EITI.

Berikut data perusahaan minerba yang tidak melapor dalam lima tahun terakhir:

TahunJumlah Perusahaan Tidak MelaporPersentase
2019462247 %
2020462247 %
2021522650 %
2022504284 %
2023494184 %

Data tersebut menunjukkan tren penurunan tingkat pelaporan, dengan angka ketidakpatuhan mencapai 84% dalam dua tahun terakhir.

Yusnita menegaskan, tanpa adanya transparansi dan keterbukaan informasi yang inklusif, kelompok rentan tidak akan dapat terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka.

Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa implementasi transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam tidak cukup hanya dengan membuka data. Pemerintah dan perusahaan juga dituntut untuk memastikan bahwa akses terhadap informasi dapat dijangkau oleh seluruh kelompok masyarakat, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan.

“Ketika perempuan tidak punya ruang di akses publik untuk isu-isu ekstraktif, maka mereka tidak mungkin ikut dalam proses negosiasi dan debat. Padahal dampaknya sangat besar bagi mereka,” tegasnya.

(tim redaksi)


Berita terkait