POJOKNEGERI.COM – Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo turut memberikan tanggapannya terhadap seruan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sempat mencuat di media sosial.
Kata Buyung, seruan pembubaran lembaga legislatif bukanlah sesuatu yang mustahil dalam konteks demokrasi di Indonesia.
Buyung menilai, seruan itu terjadi bukan tanpa alasan. Sebab DPR dinilai telah mengalami kemunduran dalam menjalankan fungsi representatifnya. Ia menyoroti proses legislasi yang menurutnya minim partisipasi publik, khususnya dalam pembahasan beberapa undang-undang penting.
“Sejumlah regulasi seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU Sumber Daya Alam, dan Minerba disusun tanpa pelibatan masyarakat secara terbuka. Lalu, apa fungsi DPR jika tidak menjalankan representasi rakyat?” kata Buyung, Senin (25/8/2025).
Menurutnya, dalam sistem demokrasi, rakyat tidak hanya berhak memilih wakilnya, tetapi juga memiliki kewenangan moral untuk mencabut mandat tersebut apabila wakil yang dipilih tidak menjalankan amanat.
“Kalau keterwakilan di DPR tidak lagi berpihak pada rakyat, lalu mereka mewakili siapa? Faktanya, mereka lebih tunduk pada partai politik. Maka dari itu, saya setuju jika DPR dibubarkan,” lanjutnya.
Ia pun mengingatkan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, preseden pembubaran lembaga legislatif pernah terjadi. Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada masa pemerintahannya, pernah mengambil langkah serupa.
“Sejarah juga menunjukkan hal itu pernah terjadi. Jadi bukan sesuatu yang tabu,” tegasnya.
Buyung juga menyoroti melemahnya kualitas demokrasi Indonesia yang menurutnya hanya berhenti sebagai slogan belaka. Ia berpendapat bahwa DPR saat ini lebih sering memperjuangkan kepentingan partai dibanding kepentingan masyarakat.
“Jika para wakil rakyat memiliki integritas dan rasa tanggung jawab, seharusnya mereka mundur secara sukarela saat tidak mampu menjalankan fungsi representatif. Tidak perlu menunggu mekanisme PAW dari partai,” jelasnya.
Ia pun mengkritisi mahalnya ongkos politik dalam Pemilu, yang dinilai turut melahirkan praktik transaksional dan membuka jalan bagi politisi populer namun minim kapasitas.
“Menjadi anggota DPR kini lebih soal modal dan eksposur, bukan kompetensi. Fenomena selebritas masuk parlemen contohnya. Jika hanya mencari panggung, seharusnya tetap berada di dunia hiburan,” sindirnya.
Lebih lanjut, Buyung menyesalkan belum disahkannya RUU Perampasan Aset yang ditujukan untuk menjerat pelaku korupsi, di tengah maraknya regulasi yang dinilai justru mengekang hak-hak masyarakat, seperti UU Minerba yang disebut memuat pasal-pasal bermasalah.
“Ini menunjukkan orientasi legislasi kita bukan kepada rakyat, tetapi pada kepentingan politik partai. Demokrasi semacam ini hanyalah tiruan,” tandasnya.
Meski begitu, Buyung menegaskan dirinya tidak terlibat langsung dalam aksi-aksi unjuk rasa. Namun, secara prinsip, ia menyatakan persetujuan terhadap wacana pembubaran DPR sebagai bentuk koreksi terhadap lembaga yang dinilainya gagal menjalankan fungsi utama.
“Kalau ditanya apakah saya setuju DPR dibubarkan, jawabannya: ya. Selama keputusan dan kebijakan mereka tidak mencerminkan kepentingan rakyat, maka tak ada alasan untuk mempertahankannya,” pungkasnya.
Untuk diketahui, beberapa waktu lalu tuntutan pembubaran DPR mendapat jawaban keras dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni.
Dia menilai bahwa kritik semacam itu berlebihan dan tidak konstruktif. Ia mempertanyakan efektivitas pemerintahan tanpa keberadaan lembaga legislatif.
Ia mengakui tidak semua anggota dewan menjalankan tugas secara sempurna, namun menekankan bahwa DPR tetap berusaha menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Ia pun meminta agar kritik disampaikan sesuai dengan koridor yang berlaku.
“Kritik itu sah, tapi jangan berlebihan apalagi sampai mencaci. Orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR saya anggap sebagai orang yang tolol,” ujar politisi Partai NasDem tersebut.
Pernyataan Sahroni itu lantas memicu reaksi yang lebih keras dari publik, khususnya di media sosial X (sebelumnya Twitter), di mana banyak warganet menilai komentarnya arogan dan tidak mencerminkan semangat keterbukaan dalam demokrasi.
“Bubarkan DPR itu bentuk kekecewaan masyarakat karena kerja kalian tidak berpihak dengan rakyat yang bayar kalian melalui pajak,” tulis akun @susiloyhu dalam salah satu unggahannya.
(tim redaksi)