POJOKNGERI.COM – Kuliah umum yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mulawarman mengangkat tema “Gerakan Sipil dalam Tekanan: Mencari Ruang di Tengah Represi”.
Kegiatan yang berlangsung pada Rabu (17/9/2025) di Ruang Serbaguna FISIP ini menyoroti bagaimana masyarakat, khususnya kelompok akar rumput, mempertahankan keberlanjutan gerakan sosial meski menghadapi tantangan represif.
Kuliah umum ini menghadirkan sejumlah narasumber dari latar belakang akademik, aktivisme, dan budaya.
Herdiansyah Hamzah, akademisi dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), menekankan bahwa keberhasilan gerakan sosial tidak bisa hanya bergantung pada kalangan mahasiswa.
Menurutnya, aktor utama yang mempertahankan konsistensi gerakan justru berasal dari kelompok masyarakat sipil seperti buruh, petani, dan komunitas lokal.
“Mahasiswa memang kerap menjadi pelopor, namun daya tahan sejati berasal dari masyarakat. Mereka yang tetap bertahan dalam jangka panjang, bahkan ketika sorotan publik telah beralih,” ujarnya.
Ia juga mengkritik fenomena “normalisasi” hubungan antara kelompok yang sebelumnya bersuara kritis terhadap negara, namun kemudian menunjukkan kedekatan dengan aparat. Hal ini, menurutnya, berisiko melemahkan semangat resistensi yang telah dibangun.
Sementara itu, Refinaya, aktivis dari Perempuan Mahardhika Samarinda, menyoroti bagaimana kekerasan negara berdampak secara emosional dan psikologis, terutama bagi perempuan yang terlibat dalam perjuangan sosial.
“Perempuan kerap mengalami bentuk represi berlapis. Oleh karena itu, narasi dari perspektif perempuan harus terus diangkat agar sejarah penindasan tidak hanya dilihat dari sudut pandang dominan,” ungkapnya.
Refinaya juga menekankan pentingnya dokumentasi dan kolaborasi lintas komunitas untuk memperkuat ketahanan kolektif gerakan perempuan.
Romo Roedy Hardjo Wiyono, budayawan asal Kalimantan Timur, menambahkan bahwa represi negara tidak hanya menghambat kebebasan politik, tetapi juga menggerus nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.
“Ketika ekspresi dibatasi, manusia kehilangan ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Namun sejarah membuktikan, seni dan budaya selalu menjadi medium perlawanan yang tak bisa sepenuhnya dibungkam,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa karya-karya seni seperti puisi, musik, hingga pertunjukan teater menjadi bentuk perlawanan simbolik yang memiliki daya tahan kuat terhadap kekuasaan yang menindas.
Melalui forum ini, FISIP Unmul mendorong diskusi akademik yang menyentuh realitas sosial-politik, serta membuka ruang refleksi kritis bagi mahasiswa dan masyarakat umum untuk terus memperjuangkan kebebasan berekspresi dan keadilan sosial.
(tim redaksi)