POJOKNEGERI.COM – Lemahnya keterbukaan informasi di sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia disorot Koalisi POKJA 30 bersama Fraksi Rakyat Kutim (FRK).
Hal ini mereka suarakan dalam momentum peringatan Right to Know Day atau Hari Keterbukaan Informasi Publik Sedunia yang jatuh pada Jumat (26/9/2025).
Sorotan ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk "Transparansi Semu Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia" yang digelar di Kafe Bagios, Samarinda, pada Minggu (28/9/2025) sore.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah aktivis masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat lingkungan yang menyoroti masih minimnya komitmen negara dalam membuka akses informasi kepada publik, khususnya di sektor pertambangan yang berdampak luas terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dalam diskusi itu, para aktivis dan akademisi yang hadir menilai kalau negara masih abai terhadap amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Meski telah 17 tahun berlaku, praktik keterbukaan dinilai masih jauh dari harapan. Indeks tata kelola sumber daya (RGI) 2017 memberi Indonesia skor 65/100, sementara validasi EITI 2024 hanya 67 poin—kategori rendah.
Padahal, sektor ekstraktif seperti pertambangan batubara berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional. Kasus sengketa informasi antara warga Kutai Timur dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi gambaran nyata.
Dua aktivis, Erwin Febrian Syuhada dan Junaidi Arifin, sejak 2022 menuntut keterbukaan dokumen penting milik PT Kaltim Prima Coal (KPC), mulai dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), hingga Rencana Induk Program PPM (Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat).
Setelah melalui proses panjang, Komisi Informasi Pusat (KIP) pada April 2025 memutuskan bahwa RKAB dan PPM bersifat terbuka, disusul putusan 30 Juli 2025 yang juga memenangkan warga atas dokumen AMDAL.
Alih-alih melaksanakan putusan, ESDM justru mengajukan gugatan balik ke PTUN Jakarta. Langkah ini menuai kritik keras karena dianggap mengkhianati semangat keterbukaan.
“Sejak 17 tahun UU KIP berlaku, keterbukaan di sektor tambang masih jalan di tempat. Pemerintah lebih sering berlindung di balik dalih pengecualian. Padahal, transparansi adalah hak dasar warga negara,” ujar Buyung Marajo, Koordinator POKJA 30.
Senada, Erwin menekankan bahwa penolakan ESDM bukan sekadar masalah administrasi.
“AMDAL, RKAB, dan PPM menentukan masa depan lingkungan serta masyarakat Kutai Timur. Menutup dokumen itu sama dengan menutup hak rakyat untuk hidup sehat dan bermartabat. Gugatan balik ESDM adalah tamparan bagi demokrasi,” ucapnya.
Sementara itu, Junaidi menilai sengketa ini menjadi ujian serius implementasi UU KIP.
“Kalau negara saja enggan membuka dokumen lingkungan, bagaimana publik bisa percaya pada tata kelola pertambangan?” katanya.
Koalisi POKJA 30 dan FRK kemudian menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain agar ESDM segera melaksanakan putusan KIP tanpa mencari celah hukum, membuka seluruh dokumen tambang yang berkaitan dengan keselamatan rakyat dan lingkungan, serta menghentikan praktik transparansi semu yang hanya menguntungkan korporasi.
Mereka juga menyerukan masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas lokal untuk terus mengawal kasus ini sebagai preseden penting keterbukaan informasi di Indonesia.
“Right to Know Day 2025 harus menjadi pengingat, bahwa tanpa keterbukaan informasi, demokrasi kehilangan makna. Transparansi bukan sekadar jargon, melainkan fondasi agar pertambangan tidak merugikan rakyat dan lingkungan,” pungkasnya. (*)