IMG-LOGO
Home Nasional Kehilangan Sikap Kritis, Publik Tuntut Keberanian PBNU untuk Bersikap Tegas di Tengah Krisis Ekologi
nasional | umum

Kehilangan Sikap Kritis, Publik Tuntut Keberanian PBNU untuk Bersikap Tegas di Tengah Krisis Ekologi

Alamin - 14 Juni 2025 23:15 WITA
IMG
Mantan Ketua LAKPESDAM PCNU Lamongan, Mahrus Ali, yang mempertanyakan arah moral PBNU di tengah krisis ekologis/ist

POJOKNEGERI.COM - Hubungan antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan kekuasaan politik kembali mencuat dalam perdebatan publik.


Kritik yang berkembang semakin tajam terkait dengan kehilangan daya kritis PBNU terhadap kebijakan pemerintah, terutama dalam hal kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam.


Beberapa kalangan menilai bahwa PBNU, yang selama ini dikenal sebagai penjaga moral publik, kini semakin dekat dengan kekuasaan politik hingga mengorbankan sikap kritisnya terhadap kebijakan yang merugikan lingkungan.


Salah satu isu yang memicu kritik adalah eksploitasi tambang nikel di Papua dan Maluku yang terus meluas tanpa kajian ekologis yang memadai.


Padahal, masalah ini sudah lama menjadi perhatian banyak pihak, termasuk sejumlah tokoh agama yang sebelumnya gencar menyerukan pentingnya "taubat ekologis" sebagai bagian dari tanggung jawab moral terhadap alam.


Namun, dalam beberapa tahun terakhir, suara-suara tersebut semakin menghilang dari khotbah-khotbah dan wacana publik yang berkembang di dalam NU.


Keterlibatan beberapa tokoh PBNU dalam perusahaan tambang turut memperburuk citra ormas terbesar di Indonesia ini, menimbulkan pertanyaan serius mengenai potensi konflik kepentingan dan integritas moral para pemimpin NU.


Kritik dari Mahrus Ali


Mahrus Ali, mantan Ketua LAKPESDAM PCNU Lamongan, dalam rilis opini yang dirilis pada Sabtu (14/6/2025), menyoroti pergeseran orientasi PBNU dari moralitas ke pragmatisme politik.


“Fenomena ini mengindikasikan bahwa penguasa hari ini cukup cerdas memainkan kartu politik keagamaan dengan membenturkan sesama warga Nahdliyin,” tulis Mahrus dalam pernyataannya.


Menurutnya, kompromi PBNU dalam isu lingkungan tidak hanya melemahkan posisi lembaga sebagai penjaga moral publik, tetapi juga membiarkan bencana ekologis semakin berkembang tanpa adanya perlawanan yang berarti dari institusi keagamaan.


Kerusakan alam yang terjadi akibat eksploitasi tambang, seperti hilangnya tanah adat, pencemaran sungai, dan kerusakan laut, semakin memburuk.


Namun, sampai saat ini belum ada fatwa atau sikap tegas dari PBNU terkait masalah ini, yang semakin memperlihatkan ketidaktegasan ormas yang selama ini dihormati banyak kalangan.


Dalam hal ini, kritik terhadap PBNU semakin menggema, dengan banyak pihak yang menilai bahwa institusi keagamaan besar ini seharusnya lebih berani bersuara atas kerusakan yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah dan industri.


Artikel ini juga menyerukan perlunya refleksi kolektif tentang peran institusi keagamaan dalam menghadapi krisis ekologis yang semakin parah.


Seruan ini mengingatkan bahwa jika "taubat ekologis" yang dulu sering didengungkan kini telah terkubur begitu saja, maka bukan hanya kerusakan alam yang akan tercatat dalam sejarah, tetapi juga keruntuhan nurani umat.


Beberapa tokoh PBNU yang diketahui duduk sebagai komisaris dalam perusahaan tambang semakin memperburuk situasi ini.


Hal tersebut memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana independensi PBNU dalam menyuarakan isu-isu yang berhubungan dengan keadilan sosial dan pelestarian lingkungan, sementara sebagian anggota pengurusnya terlibat langsung dalam industri yang sering dikritik karena dampaknya terhadap alam.


Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PBNU mengenai kritik tersebut.


Namun, desakan agar PBNU kembali pada prinsip moral dan mengambil sikap yang jelas mengenai kerusakan lingkungan semakin kuat.


Banyak pihak yang berharap PBNU, sebagai ormas dengan basis massa yang luas dan pengaruh yang signifikan, tidak hanya menjadi bagian dari “panggung politik” semata, tetapi juga dapat menjaga nilai-nilai moral yang menjadi dasar perjuangannya.


Dalam menghadapi krisis lingkungan hidup yang semakin mengkhawatirkan, masyarakat menunggu agar NU kembali bersuara tegas, mengingat peranannya yang besar dalam membentuk opini publik di Indonesia. (*)

Berita terkait