POJOKNEGERI.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) memberikan sorotan serius pada program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sorotan ini datang dari dua pimpinan DPRD Kaltim yakni Ananda Emira Moeis dan Agusriansyah Ridwan.
Legislatif Kaltim menekankan agar program yang digagas Presiden Prabowo Subianto ini tidak hanya sebagai rutinitas pemberian makanan, tetapi harus menjadi instrumen pembangunan daerah.
Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ananda Emira Moeis, menekankan bahwa MBG tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi lokal.
Menurutnya, rantai pasok pangan yang menopang program harus melibatkan petani dan produsen lokal, bukan bergantung dari luar daerah.
“Kalau seluruh bahan baku dipasok dari petani Kaltim, uangnya kembali berputar di masyarakat. Itu artinya MBG bukan hanya menyehatkan anak sekolah, tetapi juga menyehatkan ekonomi daerah,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
Namun, Ananda juga mengingatkan bahwa akses permodalan bagi petani masih menjadi masalah klasik. Tanpa dukungan serius dari pemerintah provinsi, suplai pangan untuk MBG bisa tergantung pihak luar. Ia mendesak agar Pemprov segera menyiapkan skema pembiayaan dan pendampingan bagi petani lokal, sekaligus memastikan kualitas pangan tetap terjaga.
Di sisi lain, Komisi IV DPRD Kaltim melalui Agusriansyah Ridwan menyoroti persoalan teknis di lapangan. Menurutnya, pengelolaan MBG di sekolah jangan seluruhnya diserahkan pada pemenang tender atau pihak katering. Sekolah, kata dia, harus diberi kewenangan penuh untuk mengatur distribusi dan menu agar lebih sesuai dengan kebutuhan siswa.
“Pengelolaan mandiri di sekolah akan membuat anggaran lebih transparan, menu lebih sesuai, dan pelaksanaannya bisa dikontrol langsung. Kalau semua ditentukan pihak luar, risiko salah sasaran makin besar,” tegas politikus PKS itu.
Agusriansyah juga mengungkap laporan mengejutkan dari lapangan. Beberapa sekolah justru menilai makanan yang disediakan melalui MBG kalah representatif dibandingkan ketika pengelolaan masih dilakukan secara mandiri.
Situasi ini, menurutnya, menunjukkan bahwa evaluasi menyeluruh mutlak dilakukan. Lebih jauh, kedua legislator ini sama-sama menyoroti pentingnya pengawasan lintas sektor.
Dinas Kesehatan dituntut memastikan standar gizi, Dinas Pendidikan wajib mengawal pelaksanaan di sekolah, sementara Dinas Pertanian perlu memastikan rantai pasok lokal tidak tersisih.
“Semua itu, kata mereka, harus dipadukan agar MBG benar-benar sejalan dengan agenda nasional swasembada pangan dan pengentasan gizi buruk,” tambahnya.
Dengan begitu, MBG diharapkan tidak berhenti pada distribusi makanan gratis, tetapi berubah menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan sekaligus penopang kualitas pendidikan dan kesehatan anak.
“Program ini jangan hanya berhenti di piring makan siswa. Ia harus menjadi jalan untuk menguatkan ketahanan pangan, memberdayakan petani, sekaligus meningkatkan kualitas generasi muda,” pungkas Ananda.
(tim redaksi)