IMG-LOGO
Home Daerah Akademisi Soroti Anggaran Gaji dan Tunjangan DPRD Kaltim 2025 Capai Rp52,2 Miliar
daerah | kaltim

Akademisi Soroti Anggaran Gaji dan Tunjangan DPRD Kaltim 2025 Capai Rp52,2 Miliar

Hasa - 13 September 2025 14:22 WITA
IMG
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo

POJOKNEGERI.COM – Pengamat menyoroti anggaran pembiayaan gaji dan berbagai tunjangan bagi 55 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur pada tahun 2025.

Diketahui, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menetapkan alokasi anggaran sebesar Rp52,2 miliar untuk pembiayaan gaji DPRD Kaltim.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 19 Tahun 2025 yang ditandatangani oleh Gubernur Rudy Mas’ud dan Sekretaris Daerah Sri Wahyuni pada 25 April lalu.

Dari jumlah tersebut, porsi anggaran terbesar dialokasikan untuk tunjangan kesejahteraan bagi pimpinan dan anggota DPRD senilai Rp18,69 miliar.

Disusul tunjangan perumahan sebesar Rp18,48 miliar, tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp13,86 miliar, serta tunjangan transportasi yang mencapai Rp10,22 miliar. Selain itu, anggaran juga mencakup pembiayaan kegiatan reses sebesar Rp3,46 miliar, tunjangan jabatan senilai Rp2,53 miliar, dan uang representasi sebesar Rp1,74 miliar.

Komponen-komponen tunjangan lainnya, meskipun relatif kecil, tetap masuk dalam rincian anggaran, termasuk iuran jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, tunjangan keluarga, serta tunjangan alat kelengkapan dan jasa pengabdian.

Jika dihitung secara rata-rata, setiap anggota DPRD Kaltim akan menerima total kompensasi sekitar Rp949 juta per tahun atau setara dengan Rp79 juta per bulan, termasuk fasilitas perumahan dan transportasi.

Kebijakan ini menuai kritik dari kalangan akademisi. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai bahwa besaran anggaran tersebut tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih penuh tantangan.

“Ketika masyarakat diminta untuk berhemat, para pejabat justru menikmati fasilitas dan tunjangan yang tinggi. Ini menandakan adanya ketimpangan yang nyata,” ungkap Purwadi.

Ia juga menyinggung rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, khususnya terkait informasi gaji pejabat di badan usaha milik daerah (BUMD) yang juga bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“APBD berasal dari sumber daya alam yang dikeruk habis-habisan—hutan dan tambang—yang menimbulkan dampak ekologis bagi masyarakat. Namun, hasilnya dinikmati oleh segelintir elit,” ujarnya.

Purwadi menyarankan agar pemerintah daerah mengadopsi langkah efisiensi sebagaimana dilakukan DPR RI yang diketahui telah memotong tunjangan hingga menghemat ratusan miliar rupiah setiap tahun. Ia menilai kebijakan serupa perlu diterapkan di tingkat daerah.

“Jika parlemen pusat bisa melakukan penghematan, tidak ada alasan bagi DPRD provinsi maupun kabupaten untuk tidak melakukan hal serupa. Bahkan, jika perlu, standar gaji mereka disesuaikan dengan upah minimum agar terlihat siapa yang benar-benar mengabdi kepada publik,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mendesak evaluasi menyeluruh terhadap struktur tunjangan tidak hanya di DPRD, tetapi juga di jajaran eksekutif daerah seperti gubernur, wali kota, bupati, dan kepala dinas. Menurutnya, setiap bentuk kelebihan anggaran yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik harus ditinjau ulang.

“Ketika rakyat terus diminta untuk menahan diri dan berhemat, tidak adil jika pejabat publik tetap menikmati kenyamanan finansial yang berlebihan, apalagi bersumber dari pajak yang dibayarkan rakyat,” tambahnya.

Purwadi juga menyoroti bahwa pajak penghasilan para pejabat justru dibayarkan oleh negara, yang menurutnya menjadi ironi di tengah berbagai beban fiskal yang harus ditanggung masyarakat.

“Rakyat bisa langsung mendapat sanksi saat terlambat membayar pajak kendaraan, sementara penghasilan pejabat ditanggung negara. Ini adalah bentuk ketidakadilan lain yang perlu disoroti,” katanya.

Ia memperingatkan bahwa jika situasi semacam ini terus berlangsung tanpa koreksi, maka tekanan terhadap masyarakat akan semakin berat, terlebih dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

“Transfer ke daerah sudah dipotong, harga kebutuhan pokok terus naik, tetapi perlindungan bagi masyarakat masih minim. Sebaliknya, jaminan bagi pejabat tetap terjaga. Pola ini, jika dibiarkan, akan memperlebar jurang sosial,” pungkasnya.

(tim redaksi)



Berita terkait